Era Demokrasi Parlementer (1950-1959) di Indonesia diwarnai pergantian cepat pemimpin kabinet. Setiap Perdana Menteri memiliki jejak dan tantangan tersendiri. Mengenal profil mereka membantu kita memahami dinamika politik saat itu. Mereka adalah figur sentral yang mengarungi badai ketidakstabilan pascakemerdekaan.
Mohammad Natsir adalah Perdana Menteri pertama era ini (1950-1951). Tokoh Masyumi ini dikenal jujur dan berintegritas tinggi. Ia berusaha keras merumuskan kebijakan ekonomi nasional. Namun, kabinetnya jatuh karena mosi tidak percaya terkait Irian Barat. Natsir adalah sosok yang sangat dihormati.
Sukiman Wirjosandjojo, dari Masyumi juga, menggantikan Natsir (1951-1952). Kabinetnya berfokus pada pembangunan dan keamanan. Namun, kebijakan luar negerinya yang pro-Barat dikritik keras. Ia juga terlibat dalam masalah rasionalisasi TNI. Kabinet Sukiman berakhir setelah 17 Oktober 1952.
Wilopo, dari PNI, memimpin kabinet (1952-1953) yang berusaha stabil. Ia menghadapi berbagai masalah ekonomi dan sosial. Peristiwa Tanjung Morawa yang berujung pada bentrokan agraria. Kabinet Wilopo akhirnya jatuh karena masalah tanah di Sumatera Utara. Era ini memang penuh tantangan.
Kemudian ada Ali Sastroamidjojo, yang dua kali menjabat Perdana Menteri (1953-1955 dan 1956-1957). Periode pertamanya dikenal sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika. Ini mengangkat nama Indonesia di kancah internasional. Namun, kabinet keduanya berakhir setelah konflik internal PNI.
Burhanuddin Harahap, dari Masyumi, memimpin kabinet “penyelamat” (1955-1956). Tugas utamanya adalah mempersiapkan Pemilu 1955. Ia berhasil menyelenggarakan pemilu pertama dengan lancar dan demokratis. Sebuah prestasi besar di tengah ketidakstabilan politik.
Yang terakhir adalah Djuanda Kartawidjaja (1957-1959). Ia adalah seorang teknokrat non-partai. Kabinetnya dikenal sebagai Kabinet Karya. Djuanda fokus pada pembangunan dan stabilitas ekonomi. Deklarasi Djuanda yang memperluas wilayah laut Indonesia menjadi warisannya. Ini sangat monumental.
Setiap Perdana Menteri di era ini menghadapi tantangan unik. Instabilitas politik, ekonomi, dan separatisme. Mereka berjuang dengan keterbatasan dan tekanan. Pergantian kabinet yang begitu cepat menunjukkan rapuhnya sistem parlementer. Ini menjadi pembelajaran berharga bagi bangsa.
Profil tokoh-tokoh sentral ini menunjukkan keragaman kepemimpinan. Dari politisi partai hingga teknokrat independen. Mereka semua berkontribusi pada pembangunan awal negara. Meskipun dengan hasil yang bervariasi. Jasa mereka dalam mengarungi masa-masa sulit patut dikenang.